Kereta Uap Pertama Di Indonesia

Kereta Uap Pertama Di Indonesia

Kereta api uap Jaladara (Hanacaraka: ꦱꦼꦥꦸꦂꦏ꧀ꦭꦸꦛꦸꦏ꧀ꦗꦭꦢꦫ, bahasa Jawa: Sepur Kluthuk Jaladara) adalah kereta api wisata yang ada di kota Solo, Indonesia. Kereta ini pernah dijalankan dengan lokomotif uap C1218, sekarang memakai lokomotif uap D1410, dan beroperasi di jalur kereta api Stasiun Purwosari hingga Stasiun Solo Kota sepanjang enam kilometer. Jalan rel itu tepat bersisian dengan Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama di tengah Kota Solo. Kereta api ini dioperasikan berkat kerja sama antara PT Kereta Api Indonesia dan Pemerintah Kota Surakarta. Nama Jaladara diambil dari kisah pewayangan dalam lakon Mahabarata. Dalam roman itu, Jaladara adalah kereta milik Prabu Kresna yakni Kyai Jaladara. Kereta Kyai Jaladara disebut sebagai kereta dewa karena memiliki kemampuan terbang. Kereta itu pula yang digunakan oleh Prabu Kresna untuk naik ke kerajaan Astinapura.

Kereta api uap ini diresmikan pada tanggal 27 September 2009 oleh Menteri Perhubungan Jusman Syafi’i Djamal bersama Gubernur Jawa Tengah dan Wali kota Solo Joko Widodo bertempat di Loji Gandrung, Rumah Dinas Wali kota Solo.[1]

Pada awal diresmikan, kereta api ini beroperasi menggunakan lokomotif uap C1218. Lokomotif ini adalah lokomotif uap tua buatan Jerman pada tahun 1896 dan dikirim ke Indonesia pada tahun itu juga oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai alat transportasi jarak pendek.[2] Nama kereta ini diambil dari nama kereta pusaka yang dihadiahkan para dewa kepada Prabu Kresna guna membasmi kejahatan ini akan membawa penumpang melintasi jalur legendaris yang membelah Surakarta, yakni dari Stasiun Purwosari menuju Stasiun Sangkrah yang berjarak sekitar 5 km.[3] Dengan jarak demikian, membutuhkan air dalam jumlah yang banyak untuk menghasilkan uap agar dapat menggerakkan lokomotif tersebut, setidaknya membutuhkan 4 meter kubik air dan 5 meter kubik kayu jati. Lokomotif ini tergolong lokomotif kecil yang digunakan untuk rute mendatar.[2] Kecepatan yang dihasilkan dari kereta api ini dapat mencapai 50 km/jam dengan dilengkapi 2 gerbong yang dibuat dari kayu jati pilihan asli pada tahun 1920 dengan kode CR 16 dan CR 144 dan total kapasitas optimal kedua kereta penumpang tersebut adalah 70 orang.[2]

Kereta ini dapat berhenti di: Diamond Convention Center, Solo Grand Mall, Loji Gandrung (Rumah Dinas Wali kota Surakarta), House of Danar Hadi, Museum Radya Pustaka Sriwedari, Perempatan Pasar Pon (Pasar Windujenar – Ngarsopura), Kampung Seniman Kemlayan, Kampung Batik Kauman, Beteng Trade Center / Gladag Langen Bogan, Stasiun Solo Kota

Kegiatan, titik pemberhentian, dan lama berhenti tidak mengikat; dapat berkurang maupun bertambah sesuai dengan kondisi perjalanan dan paket wisata yang diambil. Harga paket wisata adalah Rp150.000,00 per orang. Kereta dijadwalkan untuk dioperasikan pada akhir pekan (Sabtu–Minggu) dan/atau hari libur nasional; pada hari Sabtu pukul 16.30 dan Minggu pukul 09.30 WIB dari Stasiun Purwosari.

Karena biaya operasional yang sangat tinggi, maka diputuskan bahwa kereta akan dijalankan hanya jika jumlah minimal calon penumpang adalah 60 orang untuk setiap pemberangkatan. Jika calon penumpang di bawah jumlah tersebut, maka perjalanan pada hari itu akan dibatalkan. Pengecualian diberikan jika ada penyewa yang bersedia menanggung biaya operasional kereta untuk sekali jalan. Kereta akan dijalankan sesuai dengan waktu yang diminta oleh penyewa, setelah dilakukan koordinasi dan konfirmasi teknis dengan PT KAI (Persero) dan Dinas Perhubungan Kota Surakarta.

Pada 16 Februari 2020, PT KAI meresmikan lokomotif uap D1410 yang menarik dua buah kereta (gerbong penumpang) Djoko Kendil yang berlokasi tepat di depan Loji Gandrung (Rumah Dinas Wali kota Surakarta). Peresmian lokomotif uap dilakukan secara simbolis dengan pemotongan pita rangkaian bunga oleh Dirut PT KAI, Edi Sukmoro dan Wakil Wali Kota Surakarta, Achmad Purnomo serta disaksikan oleh masyarakat. "Lokomotif ini melengkapi Sepur Kluthuk Jaladara yang sudah dulu beroperasi. Mudah-mudahan meningkatkan daya tarik pariwisata Solo, khususnya wisata budaya," terang Purnomo.[4][5][6]

Rute perjalanan yang ditawarkan oleh kereta kuno ini memilki 4 tujuan.[7] Yaitu Kereta ini melewati beberapa landmark Kota Solo seperti Loji Gandrung (Rumah Dinas Wali kota Solo), Ngarsopuro, Keraton Solo dan Gladak.[8]

Loji Gandrung dulunya merupakan rumah mewah milik seorang pengusaha pertanian asal Belanda, Yohanes Agustinus Dezentye, yang dibangun sekitar 1823 pada zaman Paku Buwono IV.[9] Pada saat perayaan khusus dan akhir pekan, Yohanes kerap mengadakan pesta-pesta ala Eropa di rumah ini. Selain orang Belanda, sejumlah kerabat Keraton diundang dalam pesta itu.[10] Dengan diiringi alunan musik, para tamu dengan pasangannya biasa berdansa di ruang tengah, hingga akhirnya masyarakat setempat menyebut rumah mewah tersebut sebagai Loji Gandrung.[9]

Ngarsopuro adalah suatu kawasan di depan Pura Mangkunegaraan.[1] Keadaannya jauh berbeda dengan yang dulu,karena sekarang sudah tidak ada lagi pasar barang elektrik yang berjualan di daren.[3]

Gladak merupakan salah satu gerbang masuk Keraton Surakarta.[2] Gladak juga merupakan kawasan yang strategis untuk perbisnisan.[1] Karena letaknya yang strategis dan berada di pusat kota, maka tak heran disekitar Gladak telah dibangun sentra-sentra perbisnisan di kota Solo.[7]

Untuk menaiki kereta ini pengguna bisa langsung membayar di tempat atau harus menyewa terlebih dahulu.[3] Harga yang ditetapkan untuk seorang warga solo sebesar Rp30.000,00 untuk warga Karesidenan Solo sebesar Rp100.000,00 dan harga untuk warga di luar Karesidenan sebesar Rp200.000,00.[3] Adapun untuk harga yang dikeluarkan rombongan, yaitu sebesar Rp3.750.000,00.[8].Kereta ini juga memiliki beberapa paket.[3] Ada sejumlah paket yang disiapkan, seperti paket batik, paket kuliner, paket pernikahan sampai paket VIP. Nilai paketnya antara Rp 9 juta-25 juta.[3]

Belanja di App banyak untungnya:

Belanja di App banyak untungnya:

Anda mungkin ingin melihat